Jumat, 18 Januari 2008

Kemiskinan kehidupan pelajar

Sosok intelektual yang biasa dilekatkan kepada pelajar adalah minuman kaleng *

Pada musim gugur 1966, sejumlah mahasiswa yang setuju dengan pemikiran situationist bersama dengan Mustapha Khayati menulis leaflet yang berjudul "Dalam Kemiskinan Kehidupan Pelajar". Leaflet yang difotokopi sebanyak 10.000 lembar ini didistribusikan pada upacara pembukaan universitas awal Oktober 1966 dan berkembang pada sejumlah hal lain. Abraham Moles, seorang dosen dari mata kuliah Psikologi Sosial dibombardir dengan tomat busuk saat memberikan kuliah, mahasiswa kemudian bersama para pekerja melakukan aksi pemogokan besar-besaran di Strasbourg dan kota-kota lainnya.


18 bulan kemudian, sekelompok 'hooligan kampus' alias Les Enrages mengambil alih kampus universitas Manterrre. Dengan mengadopsi tesis Situasionis Internasional sebagai landasan aksinya, mereka membuat kekacauan ala parra pendahulunya di Strasbourg. Mereka menyabotase perkuliahan, menutup tembok tembok kampus dengan grafiti, mendistribusikan leaflet, serta melakukan aksi pemboikotan ujian semester. Hasilnya adalah simpul tali yang memulai revolusi Paris 68, yang memuncak pada malam tanggal 22 Maret saat mereka menguasai fakultas guna menghancurkan seluruh kertas ujian.

Tanggal 10 Mei, komite Enrages - Situasionis Intenasional, membuat kerusuhan massal di Rue-Gay Lussac yang dikenal dengan peristiwa 'Night of the Barricade'. Mereka menuntut pendudukan pabrik-pabrik serta menutupi tembok kota dengan grafiti. Tanggal 16-17 Mei, 'Konsil Untuk Mempertahankan Pendudukan' didirikan sebagai reaksi terhadap berdirinya 'Konsil Pendudukan Sorbonne' (SOC) yang bersikap hirarkis. Konsil yang baru didirikan tersebut menuntut pembubaran SOC sambil mempublikasikan poster, teks, telegram dan informasi lainnya tentang keadaan pendudukan. Walaupun demikian mereka tetap tidak pernah menjadi 'vanguard'.

Dimanapun di dunia, pelajar merupakan makhluk yang remeh, alasan-alasan mengapa mereka merupakan makhluk remeh tersebut sering disalah artikan sebagai refleksi dari suatu ideologi dominan yang tidak menganggap mereka.

Dimana alasan sebenarnya mengapa pelajar diremehkan dari sudut pandang ideologi apapun adalah karena mereka selalu tertindas dan tidak pernah mau mengakuinya. Para partisan oposisi palsu (dalam bentuk partai politik, organ pelajar ataupun label-label kemahasiswaan lainnya) melihat ketertindasan pelajar tersebut, namun terjebak dalam tulisan-tulisan impoten tentang kebangkitan pelajar yang diikuti reaksi organisasi birokratis untuk kemudian berlomba-lomba memberikan dukungan 'moral dan material' pada masing-masing jagoannya. Pelajar kembali terjebak dalam kesalahan yang telah berulang-ulang dilakukan oleh organisasi-organisasi birokratis maupun oleh pelajar sendiri, yaitu menolak merendahkan diri dari label-label semu.

Sampai saat ini analisa serta studi tentang kehidupan pelajar tidak melupakan isu paling mendasar, tidak ada satupun yang melewati sudut pandang spesialisasi akademik seperti aspek ideologis, akademis, ekonomis, dan lainnya dimana kesemuanya secara fundamental adalah keliru. Sebelumnya perlu diketahui bahwa pernah terdapat suatu 'methodical myopia' yang mencoba mempertanyakan hal-hal fundamental tersebut namun melupakan relasinya dengan keadaan masyarakat pada saat tersebut. Kecenderungan untuk memuja fakta-fakta telah menopengi esensi dari kategori secara mendasar, sehingga kita tidak dapat melihat detil-detil kecil disekitar kita secara keseluruhan. Segala sesuatu dalam masyarakat telah dijelaskan kecuali tentang apa sebenarnya masyarakat itu sendiri. Sebuah masyarakat yang didominasi komoditas dan tontonan besar.

Para sosiologis seperti Borderon dan Passideu dalam studi mereka, 'Les Herites: Les Studiants Et Las Culture' masih gagal meskipun berhasil mendemonstrasikan beberapa pencapaian. Segala niat baik mereka kembali jatuh pada moralitas keguru besaran ajaran etika Kent, tidak terhindarkan terutama mengenai 'demokrasi melalui sistem pengajaran yang rasional' alias mengajari sistem agar secara rasional dianggap demokratis. Sementara pengikut-pengikut yang percaya dengan hal tersebut seperti para maniak serikat pekerja mengkompensasikan kebencian mereka terhadap para birokrat yang menggunakan adonan dari segala frase revolusioner yang sudah ketinggalan jaman.

Pertunjukan besar dari kapitalisme modern memberikan peranan spesifik pada setiap individu menjalankan peranan kepasifan dimana pelajar tidak terkecuali berada didalamnya.

Menjadi pelajar merupakan peranan sementara, sebuah latihan bagi peranan dikemudian hari sebagai elemen konservatif dalam memfungsikan sistem komoditas. Menjadi pelajar hanyalah merupakan suatu inisiasi. Inisiasi yang secara ajaib mampu membuat pelajar terpotong dari realitas sejarah, sosial dan individual. Pelajar menjalani kehidupan paralel dimana mencoba menyeimbangkan antara statusnya sekarang dan statusnya dimasa yang akan datang (yang ditolaknya dengan kasar).

Keadaan schizophrenic ini menyebabkan pelajar kembali ke grup inisiasinya (seperti biar sudah lulus, tetapi setiap hari masih nongkrong di kampus), menikmati keberadaannya sekarang dan mencoba melupakan masa depan. Adapun demikian tidak perlu terkejut bila suatu saat nanti dimana akan datang pelajar menolak menghadapi aspek-aspek ekonomi dalam kehidupannya.

Pada saat ini dimana banyak anak muda membebaskan diri dari belenggu moralitas dan kewibawaan keluarga yang mengikat, para pelajar masih terus berkutat dengan masa kecil yang berlarut-larut. Tetap masih menerima diperlakukan seperti bayi oleh institusi-institusi yang mengawasi serta mengendalikan kehidupannya sehari-hari. Kemiskinan pelajar merupakan ekspresi kasar dari penjajahan wewenang dalam kehidupan sosial masyarakat, sebuah proyeksi rasa bersalah masyarakat terhadap usaha penopengan 'penghambaan' pelajar terhadap sistem. Dalam tulisan ini, pelajar juga dituduh sebagai pembohong, bukan saja terhadap kemiskinannya sendiri, tetapi juga karena berpuas diri dengan segala bentuk kemiskinan disekitarnya. Pelajar berkubang dalam keterasingannya dan berharap dari ketidak tertarikannya akan membangkitkan suatu ketertarikan. Kebutuhan kapitalisme modern saat ini adalah kader-kader rendahan dan siapa lagi yang akan mengisinya kalau bukan pelajar.

Kenyataan bahwa mereka miskin ditutup-tutupi dengan kompensasi ilusi-ilusi glamour tentang masa depan, sebuah kompensasi yang sangat menggelikan karena masa depan akan sama suramnya dengan keadaan saat ini. Pelajar menjalani kehidupan yang tidak nyata, dia juga budak yang sangat bodoh. Semakin dirinya diikat oleh berbagai macam otoritas, semakin dia merasa dirinya bebas. Keluarganya yang baru adalah universitas, sekolah. Ia merasa dirinya makhluk paling independen tapi pada kenyataannya ia sangat patuh terhadap sistem. Dua hal yang sanagt mempengaruhinya adalah sistem keluarga dan negara, dimana pelajar adalah merupakan produk yang harus berterima kasih kepada dua sistem tersebut. Logikanya pelajar menerima semua persoalan dan nilai-nilai yang ditawarkan oleh sistem dimana dalam kepalanya ditanamkan ilusi-ilusi menjadi pekerja kerah putih seperti umumnya didambakan oleh kader-kader rendahan. Sebagai makhluk 'berideologi' pelajar selalu datang terlambat, nilai dan antusiasisme yang didamba-dambakannya dalam padangan sempitnya sudah lama dianggap dunia sebagai bahan tertawaan.

Lama sebelum hal tersebut, universitas (apalagi universitas negeri) merupakan sebuah prestise dimana pelajar merasa beruntung diterima disana. Tetapi ia telah terlambat, pendidikan spesialisasi mekanikal yang diterimanya telah mengalami degradasi, demikian juga semua level-level intelektual yang diharapkannya. Masyarakat modern menuntut produksi massal, dimana pelajar dididik untuk tidak berpikir, universitas telah menjadi organisasi institusional yang tidak diperhitungkan. Terdegradasi dari kebudayaan tinggi menjadi pabrik yang mencetak profesor-profesor lewat ban berjalan. Para pelajar terlalu tak berwawasan untuk menyadari hal tersebut, terus menerus mendengarkan ocehan masternya, yakin akan menjadi siswa yang baik apabila mengabdikan diri mempelajari hal-hal yang serius, dengan harapan suatu saat profesor-profesornya akan memberikan kebenaran sejati dunia.

Semua hal tersebut adalah sungguh tanpa semangat! Masyarakat revolusioner dimasa yang akan datang harus mengutuk semua auditorium, kelas, dan ruang kuliah sebagai polusi verbal belaka, dimana pada saat itu kata 'pelajar' sudah menjadi sekedar lelucon.

Krisis universitas yang terjadi hampir di seluruh dunia, hanyalah sebuah detail kecil dari krisis kapitalisme modern secara keseluruhan, dimana hal tersebut menjadi perdebatan idiot-idiot dalam spesialisasi bidang ilmu yang tidak tahu bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk menempatkan dirinya dalam perubahan aparatus produksi secara menyeluruh. Hal yang sama busuknya dilakukan juga oleh apa yang dikenal dengan para modernis kiri, dengan menjual gerakan-gerakan sok radikal misalnya tentang reformasi struktural universitas yang pada intinya adalah tentang mentransformasikan universitas menajdi pabrik untuk menyuapkan ideologi (dalam hal ini apalagi kalau bukan ideologi kiri) secara paksa dengan akselerasi tinggi untuk mendapatkan kader rendahan.

Hal tersebut sangat jauh dari proses sejarah yangs eharusnya mengebawahkan kepentingan label-label tertentu untuk menuju sektor sosial yang swatantra menentang sistem komoditas.

Karena kemiskinan yang akut, pelajar terkutuk untuk melakukan bentuk survival tingkat rendah dan bangga akan hal tersebut, ia membanggakan kefakir miskinannya, dimana membuat-buat kebajikan dari kejorokannya serta kegembelannya dengan menyebutnya sebagai gaya 'bohemian'. Hal tersebut tidak memberikan solusi apa-apa, pelajar bersikeras bahwa seseorang dapat hidup dari gaya bohemian, tetapi lucunya hal tersebut tidak dapat dilakukan diluar pergaulan lingkungan kampus. Kegampangan menerima dari pelajar dalam rekruitmen bagi tujuan-tujuan 'radikal' menunjukan impotensinya.

Sementara dengan munafik mengutarakan kebenciannya kepada rekan-rekannya yang gila kerja, ia sendiri melakukan kegiatan-kegiatan tidak perlu yang sudah sangat ketinggalan, padahal ia ingin menunjukan potensi (yang tidak dimilikinya) kepada dirinya sendiri. Pelajar merupakan makhluk tolol yang lebih menderita lagi sehingga ia menyerahkan dirinya secara sukarela kepada kegiatan-kegiatan kesatuan mahasiswa (keluarga mahasiswa, himpunan, jurusan, dan lain sebagainya) yang mana merupakan polisi kontrol untuk memenangkan 'label-label pelajar'.

Pelajar hanyalah penonton dari kebudayaan modern karena tidak memiliki akses untuk masuk ke tempat 'suci kebudayaan' yang sebenarnya. Dalam masa dimana seni sudah mati, pelajar tetap menjadi pelanggan setia klub-klub teater, gedung-gedung pertunjukan ataupun terlibat dalam 'kegiatan seni kontemporer' yang justru malah membuat mereka kelihatan seperti monyet sirkus. Ia memuja rangsangan impoten polemik selebritis-selebritis tidak berintelejensi seperti Satre-Goddard-Foucault dan lainnya yang menopengi masalah sesungguhnya dengan memperpanjang lebarkan kesalahan seperti eksistensialisme-humanisme-postmodernisme serta bangkai-bangkai busuk lainnya yang sebenarnya didisplay bagi ibu-ibu rumah tangga.

Ketika 'tuhan-tuhan' produksi mengorganisasi tontonan besar berbentuk manusia diatas panggung, pelajar adalah publik utamanya. Bagi pelajar manusia-manusia diatas panggung tersebut adalah sempurna. Mereka adalah idola yang massanya adalah pelajar dalam tontonan yang paling menyedihkan. Pelajar memiliki dunia yang sempit sehingga keitka terjadi forum diskusi, misalnya tentang 'pemikiran marxis' yang terjadi adalah monolog yang dilakukan oleh siapa lagi kalau bukan oleh pelajar sendiri. Pelajar selalu merasa dirinya adalah avant garde dila ia telah membaca buku-buku 'post-modern' terbaru atau aktif dalam diskusi-diskusi intelektual, dalam dunianya yang sempit merasa pengulangan hal-hal lama dalam bungkusan yang baru adalah merupakan sebuah revolusi budaya.

Satu hal yang pasti dan dianggap prinsipil adalah menjaga statusnya sekarang, dan untuk melakukan hal tersebut ia merasa perlu membeli teks-teks sulit yang saat ini dengan cepat disebarkan oleh apa yang disebut kebudayaan massal. Bacaan-bacaan favorit pelajar adalah surat-surat kabar yang 'sedikit sulit' (atau malah sangat sulit karena ternyata ia tidak membacanya dan terlalu kagum leihat teks-teks tersebut) dengan harapan diberikan pengertian akan dunia modern ini.

Partisipasi politik pelajar kembali terjebak dalam pertunjukan besar yang sama, mereka mencari-cari diantara puing-puing yang telah dihancurkan oleh para reformis dan kontra-revolusioner dimana universitas selalu menjadi ladang perburuan utama bagi organisasi-organisasi birokratis sekarat untuk memperoleh massa. Birokrat-birokrat totaliter tersebut adalah pemrograman kemungkinan-kemungkinan politis pelajar.

Sikap 'muda' pelajar lebih kuno dari rezim yang memerintah mereka pada saat ini yang lebih menguasai kebudayaan modern hingga bisa mengatur pelajar.

Pelajar adalah produk kebudayaan modern sebagaimana halnya Coca Cola, ia meredefinisikan, mengidentitaskan serta menyembunyikan kenyataan dirinya tidak memiliki apa-apa dengan membangkitkan kesadaran palsu bahwa ia memiliki segalanya dibalik label pelajar.

Sebuah pandangan mengawang tentang dunai untuk meminjam makna sehingga dapat melakukan segala aktifitasnya yang pada intinya tidak berguna sambil tidak mau mengakuinya. Hasilnya adalah pemujaan terhadap nilai-nilai kadaluarsa seperti religiusme pra-sejarah yang sudah membusuk dan dipercaya dapat memperkaya diri dan zamannya.

Dalam zaman dimana masyarakat modern tidak lagi mau disuapi dan mencari, kaum muda harus mengambil tempatnya. Kritik terhadap kebodohan pelajar hanya bisa dilakukan lewat pemberontakan!!!

* Alih bahasa dari leaflet berjudul 'On The Poverty Of Student Life'...

Tidak ada komentar:

Google